banner 728x250

Amot Samper: Ritual Sakral Dayak Taba, Jantung Budaya dan Identitas Bangsa

Jantung Budaya dan Identitas Bangsa

MENYABO – Kebudayaan adalah cara hidup sekelompok individu, dan kesenian—sebagai ekspresi rasa indah—merupakan inti dari identitas sebuah bangsa. Kesenian rakyat, atau tradisi, menjadi warisan luhur yang menguatkan ikatan sosial masyarakat. Dalam konteks Suku Dayak, musik bukan sekadar hiburan; ia adalah sarana komunikasi vital dengan roh leluhur dan Sang Pencipta/Jubata, serta wujud penghormatan bagi para pendahulu.

Ritual dan tradisi seperti Pedagi, Nyeser/Amot Samper, dan Gawai (pesta panen) adalah praktik yang masih lestari, mencerminkan kekayaan budaya yang harus terus dijaga kelestariannya.

Amot Samper: Mengusir Sampar dan Memanggil Kekuatan Tradisi

Amot Samper adalah sebuah ritual turun temurun dari nenek moyang sub-Suku Dayak Taba yang tersebar di wilayah Kecamatan Balai Batang Tarang dan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau.

Nama ritual ini diambil dari bahasa Dayak Taba:

  • Amot berarti roh atau hantu.
  • Samper/Sampar berarti penyakit yang menyerang manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan.

Ritual ini berawal dari musibah penyakit atau sampar yang melanda masyarakat Dayak Taba di masa lampau. Untuk mengusir bala tersebut, ritual Amot Samper diadakan. Inti dari ritual ini adalah sesembahan berupa hasil kebun (sayur dan buah-buahan) yang dikumpulkan dalam wadah berbentuk perahu kecil yang disebut Lanting.

Lanting yang berisi persembahan ini kemudian dihanyutkan. Tindakan ini melambangkan pemberian “makan” kepada para Amot agar mereka tidak mengganggu hasil panen dan menjaga keselamatan desa. Ritual Amot Samper dianggap sangat penting demi kelangsungan hidup dan kesuburan benih padi.

Bentuk Penyajian dan Fungsi Musik Amot Samper

Di tengah arus modernisasi, ritual Amot Samper di Desa Menyabo mulai kehilangan pamornya, memicu peneliti untuk mengulas mendalam tentang bentuk penyajian dan fungsi musiknya agar tradisi ini tidak punah dan dikenal dunia.

Keunikan Bentuk Penyajian yang Sederhana Namun Meriah

Meskipun ritual ini terlihat rumit dan melibatkan banyak orang, bentuk penyajiannya justru sangat sederhana:

  • Kostum: Terbuat dari ijuk, menunjukkan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam.
  • Tata Suara: Hanya menggunakan speaker dan microphone sederhana.
  • Panggung: Seluruh Desa Menyabo itu sendiri menjadi panggung. Ini menegaskan bahwa ritual adalah peristiwa komunal, bukan sekadar tontonan di satu tempat.

Fungsi Musik yang Multidimensional

Musik dalam ritual Amot Samper bukan sekadar pengiring, melainkan memiliki fungsi sosial yang mendalam:

  1. Sarana Pendidikan: Memperkuat nilai tolong-menolong, kerja sama, dan disiplin di antara warga.
  2. Sarana Komunikasi: Menjadi wadah interaksi dan komunikasi antarwarga yang hadir dalam jumlah besar.
  3. Sarana Hiburan: Ritual menjadi acara besar yang meriah, di mana warga menari dan berjoget bersama mengikuti iringan musik, melepaskan penat.
  4. Sarana Ekonomi: Keramaian dan banyaknya pengunjung saat ritual menjadi peluang bagi warga untuk mendirikan tenda berjualan, menciptakan perputaran rezeki lokal.

Melestarikan Warisan Dayak Taba untuk Dunia

Amot Samper adalah cerminan kekayaan spiritual dan sosial Sub-Suku Dayak Taba. Dengan melestarikan dan mengenalkan tradisi unik ini, generasi muda tidak hanya menghormati warisan leluhur, tetapi juga menjadikan tradisi ini sebagai aset budaya besar yang mampu menarik perhatian para penikmat seni dan budaya dari seluruh dunia.

Warisan Budaya adalah Tanggung Jawab Kita

Amot Samper bukan sekadar rangkaian ritual; ia adalah cermin dari kearifan lokal, filosofi hidup, serta ikatan spiritual yang telah diwariskan oleh nenek moyang Suku Dayak Taba selama berabad-abad. Keunikan kesenian, kesederhanaan penyajian, dan fungsi musiknya yang sarat makna sosial dan ekonomi, membuktikan bahwa tradisi adalah aset tak ternilai.

Namun, warisan ini terancam punah jika kita abai.

Oleh karena itu, kami mengajak seluruh masyarakat, khususnya generasi muda:

  1. Sadarilah Nilainya: Pahami bahwa setiap ritual dan musik tradisional adalah identitas bangsa yang membedakan kita dari yang lain. Melestarikan tradisi berarti menjaga martabat dan akar kita sendiri.
  2. Berpartisipasi Aktif: Jangan hanya menjadi penonton. Libatkan diri dalam kegiatan adat, pelajari musik dan tarian leluhur, dan jadilah penerus yang bangga akan budayanya.
  3. Kenalkan pada Dunia: Gunakan platform modern seperti media sosial (YouTube, TikTok, Instagram) untuk mengenalkan keunikan Amot Samper dan ritual adat lainnya kepada masyarakat luas, baik nasional maupun internasional.

Mari bersama-sama jadikan tradisi seperti Amot Samper sebagai aset budaya yang hidup, berdenyut, dan terus diwariskan, sehingga kekayaan spiritual dan kesenian Suku Dayak Taba akan tetap abadi.

Ringkasan Penting: Ritual Amot Samper Dayak Taba

1. Definisi dan Asal Usul

  • Budaya: Kesenian adalah bagian dari budaya yang berfungsi sebagai penguatan ikatan tradisi sosial dan identitas.
  • Musik Dayak: Musik sangat vital, dianggap sebagai sarana komunikasi dengan roh leluhur (Amot) dan Sang Pencipta (Jubata).
  • Asal Nama: Amot: Roh atau Hantu, Samper/Sampar: Penyakit (menyerang manusia, hewan, dan tumbuhan).
  • Tujuan Awal: Ritual turun temurun untuk mengusir penyakit (sampar) yang melanda masyarakat Dayak Taba.

2. Lokasi dan Pelaku

  • Pelaku: Sub-Suku Dayak Taba.
  • Wilayah: Desa Menyabo, Dusun Sam, Manuk, Temiang Taba (Kecamatan Balai Batang Tarang), dan Dusun Tonggong (Kecamatan Tayan Hulu), Kabupaten Sanggau.

3. Proses dan Persembahan Utama

  • Inti Ritual: Memberi sesembahan kepada Amot agar tidak merusak tanaman dan menjaga keselamatan desa.
  • Persembahan: Tumbuhan/hasil kebun yang ditanam warga (sayur dan buah-buahan).
  • Wadah Persembahan: Lanting (wadah berbentuk seperti kapal kecil).
  • Penyelesaian: Lanting yang berisi sesembahan tersebut dihanyutkan (diberi makan) di air.

4. Keunikan Bentuk Penyajian

Meskipun meriah, bentuk penyajiannya sederhana:

  • Kostum: Terbuat dari ijuk.
  • Panggung: Seluruh Desa Menyabo itu sendiri.
  • Peralatan: Sederhana (hanya Alat Musik Tradisional, speaker dan microphone).

 

Sumber referensi:

  • Michael Heppell. 2015. Communing With The Dark Side, Borneo’s & Masquerades. Australia: Borneo Research Council, Inc.
  • Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
  • Jazuli, M. 2001. Paradigma Seni Pertunjukan. Yogyakarta: Yayasan Lentera Budaya.
  • M. M. Supartono Widyosiswoyo.2004, Ilmu Budaya Dasar. Edisi Revisi, Jakarta
  • Moleong, J Lexy. 2009. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Prier, S. J. (1989). Ilmu Harmoni. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
  • Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
  • Sumaryanto, Totok. 2007. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Dalam Penelitian Pendidikan Seni. Semarang:UNNES PRESS.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *